"Jika aku punya sebuah pilihan, aku akan tetap memilih untuk tetap buta... karena ketika aku mati, wajah pertama yang akan kulihat adalah wajah Juru selamatku."
KaTA-kata di atas merupakan kalimat yang menguatkan dari seorang buta, Frances Jan Van Alystine (Fanny Crosby), yang tetap bersyukur atas apa yang terjadi terhadap dirinya, meskipun “penderitaan” yang dialami sejatinya adalah karena keteledoran seorang dokter yang menanganinya. Namun demikian Fanny menganggap hal itu sebagai suatu anugerah Tuhan, bahwa ia harus buta seumur hidup, dan untuk itulah seorang Fanny akan terus berterimakasih. Jika kesempurnaan penglihatan duniawi ini ditawarkan kepadanya esok sekali pun, maka perempuan yang teguh pendirian ini tidak akan pernah menerimanya. “Jika aku telah tertarik pada hal-hal yang indah yang menarik dalam diriku saja, mungkin aku tidak akan bisa menyanyikan himne indah untuk memuji Tuhan."
Frances Jane Crosby lahir di Southeast, New York pada 24 Maret 1820, di St. John’s Methodist Episcopal Church, New York. Keluarganya terkenal Puritan yang taat beribadah kepada Tuhan Semasih kecil, Fanny pernah menderita infeksi mata yang sebenarnya tidak terlalu parah, namun lantaran keteledoran seorang dokter yang mengolesi pasta panas pada kelopak matanya yang memerah akibatnya sangat fatal. Infeksinya pada matanya mungkin sembuh, tetapi berakibat pada kebutaan mata. Ia menjadi buta seumur hidupnya. Ironisnya penderitaan yang datang seolah tak hendak berhenti. Setelah penderitaan pertama terlewati, datang lagi penderitaan lain beberapa bulan kemudian ketika, ayah Fanny sakit dan akhirnya meninggal. Mercy Crosby, ibu Fanny pun menjadi janda pada umur 21 tahun, mencari nafkah sendiri sebagai pembantu rumah tangga, sedangkan Fanny dititipkan kepada neneknya, Eunice Crosby.
Eunice Crosby adalah pahlawan bagi Fanny, yang telah memberikan banyak pengajaran dan bimbingan, sekaligus menjadi mata bagi gadis kecil itu – yang bersemangat menjelaskan tentang apa yang ada di dunia. Pengajaran dari seorang Eunice Crosby, seolah menjadi tonggak dasar wawasan dunia kristiani bagi Fanny yang berperan banyak dalam pemeliharaan keimanan Fanny kelak. Eunice kerap membacakan, menceritakan, juga menjelaskan isi Alkitab kepada Fanny, sembari menekankan kepadanya tentang kehidupan doa yang baik.
Beranjak dewasa, sama seperti anak lain yang ingin mengenyam pendidikan, Fanny pun bersekolah di New York School, sekolah khusus bagi penyandang tuna netra tempat dia mengunduh ilmu, sekaligus mengaplikasikan ilmu yang didapat dengan mengajar di sekolah itu juga. Pada 1858, Fanny menikah dengan seorang musisi tunanetra, Alexander Van Alstyne, seorang guru musik yang dihormati di kalangan tunanetra.
Meski hidup dalam kegelapan, toh tak sedikit pun mengurangi semangat Fanny dalam berkarya. Tak heran ribuan himne berhasil diciptanya, dan tak sedikit yang menjadi berkat bagi banyak orang. Fanny Crosby dikenal sebagai penulis himne terbanyak di sepanjang sejarah, ia menulis lebih dari 8.000 himne. Dengan dua ratus nama pena yang berbeda diberikan untuk karya-karyanya oleh para penerbit buku-buku himne sehingga masyarakat tidak tahu bahwa dia telah menulis sedemikian banyaknya.
Yang mengesankan adalah, Fanny dapat menulis himmne kurang lebih tujuh himne atau puisi dalam sehari. Bahkan terkadang ia sendiri juga hampir lupa dengan himne karangannya. Pada beberapa kesempatan, ketika mendengar sebuah lagu himne yang belum dikenalnya, dia menanyakan tentang pengarangnya, dan ternyata himne tersebut adalah salah satu dari karyanya!
Meski Fanny Crosby telah meninggal pada 1915, namun lagu-lagu ciptaannya tetap abadi, bahkan populer hingga kini, mengalun indah di hampir setiap kebaktian gereja, di antaranya: “Ku Berbahagia” (Blessed Assurance) Kidung Jemaat (KJ) 392; “Di Jalanku ‘Ku Diiring” (All the way My Savior Leads me) KJ.408; “Ku Perlukan Juruslamat” (I must have the savior with me) , KJ. 402; “S’lamat di tangan Yesus” (Safe in the arm of Jesus) KJ.388. ? Slawi/dbs
Sumber: https://gri.or.id/news/view/882/fanny-crosby-komponis-buta